Sekilas Tentang Kehidupan Syech Muda Waly

Sekilas Tentang Kehidupan Syech Muda WalySiapa sebenarnya Syech Muda Waly? Beliau lahir di Blang Poroh, pada tahun 1917. Persis di lokasi Dayah Darussalam sekarang. Beliau adalah putra bungsu dari empat bersaudara dari pasangan Tgk. Syech H. Muhammad Salim Bin Tgk. Malem Palito, berasal dari Batu Sangkar Sumatera Barat. Ibunya bernama Janadat Binti Keuchik Nyak Ujud, berasal dari Desa Kota Palak Kecamatan Labuhanhaji.

Nama kecilnya semula dipanggil Angku Mudo atau Teungku Muda atau Muhammad Waly. Para murid dan santri atau masyarakat umum lainnya memanggilnya dengan sebutan Abuya atau Buya yang artinya tidak lain adalah guru. Namun setelah belajar agama di berbagai perguruan tinggi Islam termasuk di Mekkah, Arab Saudi, nama lengkapnya menjadi Tgk. Syech H. Muhammad Waly Al-Khalidy.

Menelusuri jejak dan liku-liku perjalanan dan perjuangan Syech Muda Waly, menurut penulis begitu unik dan spesifik. Sehingga perlu disimak untuk menjadi pedoman maupun perbandingan bagi generasi muda khususnya para mahasiswa atau santri yang sedang memperdalam ilmu pengetahuan.

Betapa tidak, hanya dalam usia kurang dari setengah abad, Syech Muda Waly berhasil meletakkan dasar-dasar pengembangan ajaran Islam yang benar, sesuai dengan sunnah Rasulullah SAW, ketika menerima wahyu melalui malaikat Jibril.
Saat itu Jibril mengajarkan kepada kita melalui Rasul menyangkut tentang Islam, Iman, dn Ihksan. Ikhsan adalah menyangkut akhlak kita terhadap Allah SWT dan sesame manusia, lebih dikenal dengan sebutan tasawuf.

Pengertian dasarnya tidak lain adalah ketika kita melaksanakan ibadah misalnya, seolah-olah kita melihat Allah dan jika tidak mampu, ketahuilah bahwa kita senantiasa dilihat dan diawasi Allah SWT.
Sedangkan Islam sebagaimana kita ketahui menyangkut pengamalan dan kewajiban sebagai muslim seperti rukun Islam yang lima serta iman yaitu pengamalan rukun iman, sebagaimana diuraikan Abuya Prof. Muhibbuddin Waly dalam Al-Hikam, Hakikat Hikmah Tauhid dan Tasawuf.

Dari dasar inilah, ulama kharismatik itu begitu teguh, kukuh dan istiqamah mengimplementasikan ketiga macam ilmu tersebut sesuai dengan sunnah Nabi. Yaitu menyangkut ubudiyah atau ibadah (bidang syariat), berpedoman kepada mazhab Syafi’i, dalam aqidah tunduk kepada paham I’tiqad Ahlussunnah wal jamaah (lebih popular Sunny-red),  serta komit dan konsisten mengamalkan thariqat Naqsyabandiyah dalam bidang tasawuf.
Kekukuhan pendiriannya itulah membuatnya tidak sungkan-sungkan menulis namanya dengan sebutan Tgk. Syech H. Muda Waly As Syafi’ie Al Asy’ary Al Khalidy. Maksudnya Syech Muda Waly adalah penganut mazhab Syafi’i dan paham ahlussunnah wal jamaah dengan berthariqat Al-Khalidy An-Naqsyabandy.

Kh. Sirajuddin Abbas dalam bukunya Sejarah dan Keagungan Mazhab Syafi’i (1986), mengatakan, Syech Muda Waly sangat kukuh dan giat menyebarluaskan dan mempertahankan agama dalam mazhab Syafi’i dan faham Ahlussunnah Wal Jamaah (sunny).
Makanya tidaklah heran bahwa Syech Muda Waly bukan hanya komit dan konsisten mengamalkan ketiga macam ilmu di atas, melainkan justeru menerapkan kepada umat dan murid-muridnya secara serempak atau sekaligus.

Karenanya sangat sulit membedakan keahlian beliau sebenarnya dari ketiga cabang ilmu tersebut. Barangkali inilah salah satu keunikan Syech Muda Waly dan jarang dimiliki oleh ulama lain yang cenderung menguasai salah satu cabang ilmu tertentu secara spesifik.
Kemenonjolan Syech Muda Waly, ternyata memang bukan hanya dalam bidang agama, melainkan juga dalam bidang politik dan idiologi Negara. Dalam bidang politik misalnya, beliau memiliki rasa nasionalisme yang sangat tinggi, hingga membuat banyak orang menyebutnya sebagai politikus kawakan.

Indikasinya, selain sebagai pelopor Partai Islam (PI) Persatuan Tarbiyah Islamiah (PERTI) yang dibentuk tanggal 28 April 1942 dan menang dalam Pemilu di pantai barat selatan. Sebab PERTI sejak saat itu identik dengan amaliah dan aqidah ahlussunnah waljamaah.
Demikian pula ketika meletusnya pemberontakan DI/TII yang dicetuskan mantan Gubernur Aceh, Langkat dan Tanah Karo Tgk. Muhammad Daud Beureueh tahun 1953, Muda Waly termasuk salah satu tokoh ulama yang menentangnya. Meski beliau terkadang kurang setuju dengan kebijakan pemerintah Orde Lama.

Dalam rangka menghadapi kebrutalan pasukan DI/TII yang saat itu kebanyakan menggunakan senjata api, beliau terpaksa membentuk pasukan bela diri yang disebut pasukan Peudeung Panyang (pedang panjang) yang terdiri dari orang-orang yang sakti.
Bahkan beliau diundang ke Cipanas, Bogor (1955) oleh Menteri Agama saat itu KH. Masykur menghadiri rapat akbar ulama se-Indonesia, beliau setuju memberi gelar Ulil Amri kepada Presiden Soekarno dengan syarat harus ditambah dengan adh-dharury bisy-syaukah.

Demikian pula dalam hal demokrasi, beliau senantiasa mengedepankan azas musyawarah dan mupakar. Meski sesuatu hal itu adakalanya bisa saja dilakukan melalui perintah atau intruksi secara absolute. Dari itu pula banyak orang menggelarnya sebagai democrat tulen.
Begitulah antara lain keistimewaan Syech Muda Waly. Berikut ini akan dipaparkan secara ringkas beberapa persoalan  yang penulis anggap penting. Di antaranya menyangkut riwayat pendidikannya, mereformasi dayah atau ponpes, kegiatan dakwah dan muzakarah serta pengaruh dan popularitasnya hingga menjadi Ulama Besar Abad ke-20.

Riwayat Pendidikan Syech Muda Waly
Sejak kecil Muda Waly terkenal paling pintar dan cerdas. Sehingga cara belajarnya bagaikan batu loncatan dari satu dayah ked ayah lainnya. Sebelum menyelesaikanVervold School di Kuta Trieng, masih dalam kawasan Kecamatan Labuhanhaji, Muda Waly juga belajar di pesntren Jam’iyah Al Khairiyah, sebagai satu-satunya pesantren di daerah Pasar Lama (Kedai Lhok) Labuhanhaji.

Kemudian belajar di Ponpes Bustanul Huda Blang Pidie di bawah asuhan Syech H. M. Mahmud atau lebih popular dengan panggilan Abu Syech Mud. Tiga tahun kemudian beliau berangkat ke Kuta Raja (Banda Aceh) untuk melanjutkan pengajiannya di Dayah Abu Krueng Kalee dan Abu Hasballah Indrapuri Aceh Besar sekitar tahun 1933.

Selanjutnya Muda Waly dikirim ke Normal Islam di Padang oleh Aceh Studi Fond saat itu. Namun hanya bertahan sekitar tiga bulan saja, karena terjadi perbedaan paham dengan pimpinan Normal Islam yang saat itu dijabat oleh H. Mahmud Yunus. Di mana pengajarannya lebih banyak pelajaran umum ketimbang agama serta persoalan pakaian yang diharuskan menggunakan dasi dan celana panjang.

 Akhirnya Muda Waly melanglang buana dengan berdakwah keliling dan mengaji di pesantren lainnya, seperti Dayah Syech Mohd. Jamil Joho di Padang Panjang serta berguru thariqat kepada Syech Abdul Ghani Kampary, di Batu Basurek, Bangkinang, Riau.
Sebelum kembali ke tanah kelahirannya, beliau lebih dulu pergi belajar di Mekkah pada Syech Al-Maliki serta membantu pengajian di Padang sambil berdakwah termasuk melakukan seminar agama (baca debat) dengan tokoh agama Islam lainnya, menyangkut hukum agama (syari’at), aqidah maupun persoalan tasawuf.

Sumber : http://darussalamalwaliyyah.blogspot.co.id

Share this

Related Posts

:)
:(
hihi
:-)
:D
=D
:-d
;(
;-(
@-)
:P
:o
:>)
(o)
:p
:-?
(p)
:-s
(m)
8-)
:-t
:-b
b-(
:-#
=p~
$-)
(y)
(f)
x-)
(k)
(h)
cheer

Recent post

Recent Posts Widget