
Nama kecilnya semula dipanggil Angku Mudo atau Teungku
Muda atau Muhammad Waly. Para murid dan santri atau masyarakat umum
lainnya memanggilnya dengan sebutan Abuya atau Buya yang
artinya tidak lain adalah guru. Namun setelah belajar agama di
berbagai perguruan tinggi Islam termasuk di Mekkah, Arab Saudi, nama lengkapnya
menjadi Tgk. Syech H. Muhammad Waly Al-Khalidy.
Menelusuri jejak dan liku-liku perjalanan dan perjuangan Syech
Muda Waly, menurut penulis begitu unik dan spesifik. Sehingga perlu disimak
untuk menjadi pedoman maupun perbandingan bagi generasi muda khususnya para
mahasiswa atau santri yang sedang memperdalam ilmu pengetahuan.
Betapa tidak, hanya dalam usia kurang dari setengah abad, Syech
Muda Waly berhasil meletakkan dasar-dasar pengembangan ajaran Islam yang benar,
sesuai dengan sunnah Rasulullah SAW, ketika menerima wahyu melalui malaikat
Jibril.
Saat itu Jibril mengajarkan kepada kita melalui Rasul menyangkut
tentang Islam, Iman, dn Ihksan. Ikhsan adalah menyangkut akhlak kita terhadap
Allah SWT dan sesame manusia, lebih dikenal dengan sebutan tasawuf.
Pengertian dasarnya tidak lain adalah ketika kita melaksanakan
ibadah misalnya, seolah-olah kita melihat Allah dan jika tidak mampu,
ketahuilah bahwa kita senantiasa dilihat dan diawasi Allah SWT.
Sedangkan Islam sebagaimana kita ketahui menyangkut pengamalan
dan kewajiban sebagai muslim seperti rukun Islam yang lima serta iman yaitu
pengamalan rukun iman, sebagaimana diuraikan Abuya Prof. Muhibbuddin Waly dalam Al-Hikam,
Hakikat Hikmah Tauhid dan Tasawuf.
Dari dasar inilah, ulama kharismatik itu begitu teguh, kukuh dan
istiqamah mengimplementasikan ketiga macam ilmu tersebut sesuai dengan sunnah
Nabi. Yaitu menyangkut ubudiyah atau ibadah (bidang syariat), berpedoman kepada
mazhab Syafi’i, dalam aqidah tunduk kepada paham I’tiqad Ahlussunnah wal jamaah
(lebih popular Sunny-red), serta komit dan konsisten mengamalkan thariqat Naqsyabandiyah dalam
bidang tasawuf.
Kekukuhan pendiriannya itulah membuatnya tidak sungkan-sungkan
menulis namanya dengan sebutan Tgk. Syech H. Muda Waly As Syafi’ie Al Asy’ary
Al Khalidy. Maksudnya Syech Muda Waly adalah penganut mazhab Syafi’i dan paham
ahlussunnah wal jamaah dengan berthariqat Al-Khalidy An-Naqsyabandy.
Kh. Sirajuddin Abbas dalam bukunya Sejarah dan Keagungan Mazhab
Syafi’i (1986), mengatakan, Syech Muda Waly sangat kukuh dan giat
menyebarluaskan dan mempertahankan agama dalam mazhab Syafi’i dan faham
Ahlussunnah Wal Jamaah (sunny).
Makanya tidaklah heran bahwa Syech Muda Waly bukan hanya komit
dan konsisten mengamalkan ketiga macam ilmu di atas, melainkan justeru
menerapkan kepada umat dan murid-muridnya secara serempak atau sekaligus.
Karenanya sangat sulit membedakan keahlian beliau sebenarnya
dari ketiga cabang ilmu tersebut. Barangkali inilah salah satu keunikan Syech
Muda Waly dan jarang dimiliki oleh ulama lain yang cenderung menguasai salah
satu cabang ilmu tertentu secara spesifik.
Kemenonjolan Syech Muda Waly, ternyata memang bukan hanya dalam
bidang agama, melainkan juga dalam bidang politik dan idiologi Negara. Dalam
bidang politik misalnya, beliau memiliki rasa nasionalisme yang sangat tinggi,
hingga membuat banyak orang menyebutnya sebagai politikus kawakan.
Indikasinya, selain sebagai pelopor Partai Islam (PI) Persatuan
Tarbiyah Islamiah (PERTI) yang dibentuk tanggal 28 April 1942 dan menang dalam
Pemilu di pantai barat selatan. Sebab PERTI sejak saat itu identik dengan
amaliah dan aqidah ahlussunnah waljamaah.
Demikian pula ketika meletusnya pemberontakan DI/TII yang
dicetuskan mantan Gubernur Aceh, Langkat dan Tanah Karo Tgk. Muhammad Daud
Beureueh tahun 1953, Muda Waly termasuk salah satu tokoh ulama yang
menentangnya. Meski beliau terkadang kurang setuju dengan kebijakan pemerintah
Orde Lama.
Dalam rangka menghadapi kebrutalan pasukan DI/TII yang saat itu
kebanyakan menggunakan senjata api, beliau terpaksa membentuk pasukan bela diri
yang disebut pasukan Peudeung Panyang (pedang panjang) yang
terdiri dari orang-orang yang sakti.
Bahkan beliau diundang ke Cipanas, Bogor (1955) oleh Menteri
Agama saat itu KH. Masykur menghadiri rapat akbar ulama se-Indonesia, beliau
setuju memberi gelar Ulil Amri kepada Presiden Soekarno dengan syarat harus
ditambah dengan adh-dharury bisy-syaukah.
Demikian pula dalam hal demokrasi, beliau senantiasa
mengedepankan azas musyawarah dan mupakar. Meski sesuatu hal itu adakalanya
bisa saja dilakukan melalui perintah atau intruksi secara absolute. Dari itu
pula banyak orang menggelarnya sebagai democrat tulen.
Begitulah antara lain keistimewaan Syech Muda Waly. Berikut ini
akan dipaparkan secara ringkas beberapa persoalan yang penulis anggap
penting. Di antaranya menyangkut riwayat pendidikannya, mereformasi dayah atau
ponpes, kegiatan dakwah dan muzakarah serta pengaruh dan popularitasnya hingga
menjadi Ulama Besar Abad ke-20.
Riwayat
Pendidikan Syech
Muda Waly
Sejak kecil Muda Waly terkenal paling pintar
dan cerdas. Sehingga cara belajarnya bagaikan batu loncatan dari satu dayah ked
ayah lainnya. Sebelum menyelesaikanVervold School di Kuta Trieng, masih dalam
kawasan Kecamatan Labuhanhaji, Muda Waly juga belajar di pesntren Jam’iyah Al
Khairiyah, sebagai satu-satunya pesantren di daerah Pasar Lama (Kedai Lhok)
Labuhanhaji.
Kemudian belajar di Ponpes Bustanul Huda Blang Pidie di bawah
asuhan Syech H. M. Mahmud atau lebih popular dengan panggilan Abu Syech Mud.
Tiga tahun kemudian beliau berangkat ke Kuta Raja (Banda Aceh) untuk
melanjutkan pengajiannya di Dayah Abu Krueng Kalee dan Abu Hasballah Indrapuri
Aceh Besar sekitar tahun 1933.
Selanjutnya Muda Waly dikirim ke Normal Islam di Padang oleh
Aceh Studi Fond saat itu. Namun hanya bertahan sekitar tiga bulan saja, karena
terjadi perbedaan paham dengan pimpinan Normal Islam yang saat itu dijabat oleh
H. Mahmud Yunus. Di mana pengajarannya lebih banyak pelajaran umum ketimbang
agama serta persoalan pakaian yang diharuskan menggunakan dasi dan celana
panjang.
Akhirnya Muda Waly melanglang buana dengan berdakwah keliling
dan mengaji di pesantren lainnya, seperti Dayah Syech Mohd. Jamil Joho di
Padang Panjang serta berguru thariqat kepada Syech Abdul Ghani Kampary, di Batu
Basurek, Bangkinang, Riau.
Sebelum kembali ke tanah kelahirannya, beliau lebih dulu pergi
belajar di Mekkah pada Syech Al-Maliki serta membantu pengajian di Padang
sambil berdakwah termasuk melakukan seminar agama (baca debat) dengan tokoh
agama Islam lainnya, menyangkut hukum agama (syari’at), aqidah maupun persoalan
tasawuf.
Sumber : http://darussalamalwaliyyah.blogspot.co.id